Di tepian telaga hasratku melambung, setinggi langit
terbangkan senandung. Jemariku gemetar. Sepucuk surat cinta tergenggam mengirimkan getar elektronik ke syaraf ujung. Berdentam detak hantungku bagai irama
palu si tukang kayu. Ingin kulepas semua
yang mengukung jiwaku. Norma-norma
sosial, agama, hukum, tiada artinya. Tiba-tiba diriku menjadi linglung . Sesuatu
membuatku canggung. Ya, ada yang menggelitik di lambung seperti resah
yang terkandung dalam gelisah yang membumbung, di situ geliat asaku tertampung
Berdiri salah dudukpun salah.
Surat cinta bertuliskan untaian kalimat manis, tertera
jelas lewat aksara yang ku kenal betul, dari tarian jemarinya. Isinyapun masih
sama, seolah kelindan asamara kami masih saling mengikat. Seperti ketika bibir
kami saling memagut, menyalurkan hasrat purba. Salahkah bila kami saling mencinta? Persetan dengan pangkat
dan gelar. Cinta kami tulus. Ia memang
atasanku, kami memang masih satu korps. Intitusi terhormat, pengayom dan
pelindung masyarakat. Lalu di mana kami meletakan cinta yang terlahir tanpa
kami inginkan? Tapi, sudahlah. Kuputuskan, aku harus, mengalah. demi korps,
keluarganya, pasukan kesatuannya dan
demi negara.
Sama seperti pertemuan di Kota Surabaya. Kami tak pernanh
meminta untuk di tugaskan di kota yang sama. Bahkan jauh sebelumnya, kami tak
pernah saling mengenal. Tapi ketika tatapan mata bertemu, jiwa kami seolah
terlahir untuk bersama. Tiba-tiba saja seolah aku sudah mengenalnya lama.
Ketika denting asmara bersenandung dalam jiwa ini, seragam kami menjadi batasan
yang menyakitkan.
Harus kuakui tenaga terkuras.
Aku lelah menyiapkan sejuta dusta untuk menjawab pertanyaan orang tua,
pasukan kesatuanku dan Kapten Bhirawa sendiri, mengenai pengunduran diriku. Menatap wajahnya, membuatku lemah. Tinggi kami nyaris sama. Setiap
orang akan mengakui, kami sebagai pasangan serasi. Bahkan dalam dua kali pertandingan
menembak antar Polda, kami berdua mampu
mempersembahkan mendali emas. Namun tetap tidak menjadi dukungan bagi kami
melanjutkan hubungn ini,. Seluruh tubuh ini gemetar parah. Inikah cinta yang
jatuh? Aku memang butuh agar hidup
menjadi utuh, dan padanya akukan patuh. Tak bolehkan kami menikmati cinta? hanya
karena jenis kelamin kami sama?
4 comments:
Lalu, dimanakah kata"surat cinta" itu berada ? Aku belum meemukannya.
Silahkan cek ya
Terima kasih
Iya betul, gak ada cinta, cuma ada surat. Tapi sekarang sudah saya revisi. Moga-moga sudah memenuhi syarat. Sekarang saya mau daftar.
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Flash Fiction Senandung Cinta.
Ikuti juga Kontes Unggulan Blog Review Saling Berhadapan di BlogCamp (http://abdulcholik.com)
Salam hangat dari Surabaya
keren mba... bahasanya sungguh syahdu, membuat gemetar kalbuku
endingnya menohok dan memikat, semoga sukses GAnya ya mba
Post a Comment